softskill pertama pada semester
5, yaitu mata kuliah Bahasa Indonesia, berikut ini tugas
yang diberikan :
1. Pengertian Bahasa
2. Fungsi Bahasa
3. Perkembangan Bahasa Indonesia
4. Kedudukan Bahasa Indonesia
_________________________________
Artikel ini dapat juga di
download di : Bahasa dan Bahasa Indonesia
_________________________________
Pengertian Bahasa :
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang di patuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Berikut ini pengertian bahasa menurut para ahli :
- BILL ADAMS
Bahasa adalah sebuah sistem pengembangan psikologi individu dalam sebuah konteks inter-subjektif
- WITTGENSTEIN
Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis
- FERDINAND DE SAUSSURE
Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain
- PLATO
Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut
- BLOCH & TRAGER
Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.
- CARROL
Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia
- SUDARYONO
Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.
- SAUSSURE
Bahasa adalah objek dari semiologi
- Mc. CARTHY
Bahasa adalah praktik yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir
- WILLIAM A. HAVILAND
Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu
- GORYS KERAF
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi
Bila dilihat dari beberapa definisi dan pengertian mengenai bahasa menurut beberapa ahli diatas, kita bisa melihat bahwa terdapat perbedaan definisi tentang bahasa dimana definisi dari setiap ahli tergantung dengan apa yang ingin ditekankan oleh setiap tersebut. Namun meskipun terdapat perbedaan, nampaknya disepakati bersama bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Dan sebagai alat komunikasi , bahasa mempunyai fungsi-fungsi dan ragam-ragam tertentu.
Fungsi Bahasa :
Menurut Felicia, dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol social
Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
- agar menarik perhatian orang lain terhadap kita,
- keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri
Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma.Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.
Perkembangan Bahasa Indonesia :
Bahasa
Indonesia mengalamai perkembangan yang sangat bersejarah, berikut ini sepenggal
perkembangan sejarah Bahasa Indonesia
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan peristiwa-peristiwa
penting
Pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A.
van Ophuijsen dan ia dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit
buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan
Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai
itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan,
buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak
sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan
dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan
mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1933 secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan
muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
Pada tarikh 25-28 Juni 1938 dilangsungkanlah Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar
RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara.
Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober s.d. 2
November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa
kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan prasasti-prasasti
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari
pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan
bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara.
Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu,
atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya
merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
- Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di
Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti
yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
- Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka,
menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas
perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran
negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk
keselamatn raja.
- Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di
Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu
permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar
menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja.
Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia
kepada raja Sriwijaya.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa
disimpulkan bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai
lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya.
Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa
bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun)
memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu
(Sriwijaya).
Perkembangan Bahasa Indonesia berdasarkan catatan-catatan penting
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan
yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah
kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut.
Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung
ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka
namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I
Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.
Untuk keperluan perkembangan Bahasa Melayu menjadi Bahasa
Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara Pemerintah Inggris
dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat
itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
(1) Semenanjung Melayu dan Singapura besera pulau-pulau kecilnya
menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
(2) Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar: pulau-pulau
Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda
kecil: pulau-pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor , dan
lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial
Belanda.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa Melayu ini dapat
dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu
01.Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat
disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11
Masehi)
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19
Masehi):
Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan
abad ke-13 Masehi)
Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19
Masehi):
Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15
Masehi)
Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17
Masehi)
Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19
Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut
sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824,
karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) di Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7
sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan
relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu
pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari
timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi
dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi
bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa
resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kegiatan hajat
manusia dan pusat administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya.
Sriwijaya juga merupakan pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Abas
(1987) mengulangi apa yang pernah ditulis oleh Gregoris F. Zaide, seorang ahli
sejarah Filipina terkemuka, mengenai kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada era itu:
The Empire of Sriwijaya (Sri-Vishaya) emerged from the ashes of
the maritime colonialism of Pallawa from 8th ventury to 1377 AD. Founded by
Hindunized Malays, it was basucally Malayan in might, Hindunistic in culture,
and Buddhistic in religion. The empire was so named after the capital,
Sri-Vishaya, Sumatra . At the height of its power under the Shailendra dynasty,
it included Malaya , Ceylon , Borneo, Celebes, the Philippines , and part of
Formosa , and probaly exercised sovereignty over Cambodia and Champa ( Annam ).
(Zaide, 1950: 36)
Menurut Mees (1954) Sriwijaya mendirikan suatu perguruam tinggi
Buddha yang mahasiswanya datang dari semua penjuru kawasan yang dikuasainya.
Beberapa dari mahasiswa bahka datang dari kerajaan-kerajaan tetangga Champa dan
Kamboja. Bahasa pengantar pada perguruan tinggi itu dan pusat-pusat pendidikan
lainnya adalah bahasa melayu kuno atau lingua franca Kw’en Lun.
Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Kerajaan-keraan Melayu (abar
ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah
mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi
batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era
berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12
sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi
oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan
Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan
Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era
Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode
Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga.
Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena
berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia .
Pada era Kerajaan-kerjaan Melayu ini, penyebaran bahasa Melayu
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kedatangan orang-orang Eropa yang
ikut mempergunakana bahasa Melayu sebagailingua franca tidak hanya menmbantu
penyebaran bahasa itu secara ekstensif melainkan juga menaikkan statusnya
sebagai bahasa yang memiliki “norma supraetnik”, melebihi norma etnik
bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Kepulauan Nusantara.
Pigafetta yang mendampingi Magelhaens di dalam pelayarannya yang
pertama mengelilingi dunia, misalnya, berhasil menyusun glosari pertama Bahasa
Melayu ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521 Masehi. Glosari Pigafetta
yang sederhana ini menunjukkan bahwa Bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia
bagian barat telah menyebar ke bagian timur Kepulauan Nusantara pada waktu itu.
Bahkan, pada tahun 1865 pemerintah kolonial Belanda mengangkat Bahasa Melayu
sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Hal ini mengisyaratkan
bahwa peranan Bahasa Melayu sebagai lingua franca tidak dapat diabaikan begitu
saja.
Pada tahun 1581, Jan Huygen van Linschoten, seorang pelaut Belanda
yang berlayar ke Indonesia, menulis di dalam bukunya Itinerarium Schipvaert
naar Oost ofte Portugaels Indiens bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa yang
dipergunakan oleh banyak orang timur, dan bahwa barang siapa yang tidak
mengerti bahasa itu akan berada dalam keadaan seperti orang Belanda (dari zaman
yang sama) yang tidak mengerti Bahasa Perancis. (Alisjahbana dalam Fishman,
1974: 393).
Pada akhir abad ke-17, sewaktu Francois Valentyn di Malaka, ia
telah menulis buku berjudul Oud en Nievw Oostindien II Del V tentang bahasa
Melayu. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Bahasa Melayu telah terbukti
menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi dan lingua franca yang penting di
Malaka. Valentyn seorang pendeta dan ahli sejarah berbangsa Belanda dalam
penulisan buku sebanyak enam jilid itu menjelaskan sejarah dan skenario kota
pelabuhan di Kepulauan Melayu. Sebagian penjelasannya adalah:
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di
pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di
negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap
orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau
senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa
ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat
dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu
Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan
memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura
sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit
dari Jawa. Ibu kota , sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di
Semenanjung Malaya . Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah
Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara
tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada
catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran Bahasa Melayu
selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah Bahasa Melayu yang dipergunakan
pada sub-era ini ada hubungannya dengan Bahasa Melayu pada era Kerajaan
Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Banyak ahli bahasa dan orinentalis menganggap bahwa Bahasa Melayu
era Kerajaan Sriwijaya adalah semacam Bahasa Melayu kuno seperti yang
ditunjukkan oleh berbagai inskripsi batu bertulis abad ke-7 Masehi. Junus
(1969) bersikap agak ragu tentang hubungan antara bahasa Melayu kuno dengan
bahasa Melayu Riau. Tetapi, dengan adanya bahasa Melayu Bintan-Tumasik yang
merupakan suatu bentuk bahasa peralihan antara kedua bahasa itu, maka keraguan
Junus hilang dengan sendirinya. Lebih-lebih apabila diingat asumsi yang
mengatakan bahwa suatu bahasa kini merupakan perkembangan bahasa masa lampau.
Dengan demikian, asumsi bahwa ada hubungan antara Bahasa Melayu kuno dan Bahasa
Melayu era Kerajaan Sriwijaya benar adanya.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Melayu Riau
(abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara
bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan Bahasa Melayu dari sub-era Keraan
Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa Bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya
sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak
ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa
Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau
Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak dipengaruhi oleh Bahasa Sansekerta dan
memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut
“Bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti
diuraikan berikut ini.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Malaka (abad
ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit
menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke
Malaka di Semenanjung Malaya . Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tumasik
dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang
dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang
berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang
ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara
Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara
Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling
sibuk di kawasan Asia Tenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran
agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam.
Winstedt (1917: 92) melukiskan sebagai berikut:
“Perlak and Pasai in North Sumatra were the first Malay Centers
for the propagation of the Muhammadan faith and culture. At Pasai, in 1407 was
buried Abdul’llah ibn Muhammad ibn Abdul’l-Kadir ibn Abdul’l-Azis ibn Al-Mansur
Abu Ja’far al-Abbasi al-Muntasir, a missionary from Delhi of the house of the
Abbasides who furnished Caliphs from the time of Prophet till it was destroyed
by the Turks in 1258. Pasai converted Malaka, a center greater than itself.”
Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu
perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam.
Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan
penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan
para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan
Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat
perkembangan dan penyebaran Bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam
pindah ke Johor.
Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran
agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa
Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak
terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat
perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang
pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai Bahasa
Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin
apabila Bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu
(Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394).
Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad
ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran
Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St.
Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku
memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan
bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Johor (abad
ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
Dengan ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511,
kegiatan kerajaan itu dipindahkan ke Johor, suatu daerah di sebelah selatan
Malaka di Semenanjung Malaya. Lokasinya tidak sebaik lokasi Malaka dalam hal
pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu dan ajaran agama Islam.
Meskipun demikian, periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan
sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk Bahasa Melayu Malaka.
Di Malaka, nama Bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi
unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut
sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum
penaklukan Portugis sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Malaka setelah Malaka
dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahankan ciri-ciri khas
bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan
agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad
ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan
pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran
agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
Perkembangan Bahasa Indonesia di sub-era Kerajaan Riau-Lingga
(abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa
memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau
yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari
suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode
Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri
ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa
Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika
didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu
dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir
200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan
persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir;
tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul
Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika
percetakan Mathba’atul Riauwiyah atauMathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting
karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu
Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah
usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai.
Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di
Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun,
selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan
kekuasaan Belanda yang tunduk kepada {emerintah Perancis di Kepulauan
Nusantara.
Untuk beberapa tahun lamanya, 1819 – 1824, Pulau Jawa dan Pulau
Sumatra diduduki Inggris. Salah seorang administratur Inggris yang ulung, yang
pernah menjadi Gubernur Jenderal di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, yaitu
Stamford Raffles, mendirikan Singapura pada bekas kerajaan Tumasik pada tahun
1819.
Orang-orang Belanda datang pertama kali ke Indonesia bertujuan
untuk berdagang. Pada tanggal 20 Maret 1602 mereka mendirikan VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) untuk melaksanakan perdagangan. VOC beroperasi di
Indonesia selama hampir 200 tahun sampai tahun 1799, menyusul perusahaan itu direorganisasikan
menjadi suatu pemerintahan kolonial. Belanda mulai menjajah Indonensia dengan
memperoleh nama baru Nederlandsche Oost-Indie (India Belanda).
Disinilah, Selat Malaka, di daratan Semenanjung Malaya, kekuasaan
kolonial Inggris semakin mencekamkan kukunya. Setelah jatuh ke tangan Portugis,
daerah Malaka ini semakin penting perannya sebagai pusat perdagangan. Tertarik
oleh kekayaan yang melimpah yang dipersembahkan oleh daerah ini kepada raja
Portugis, perusahaan British East India, yang pada saat itu masih beroperasi di
anak Benua India, mulai meluaskan daerah perdagangannya ke Asia Tenggara. Maka
muncul konflik kepentingan di antara ketiga kekuasaan kolonial: Inggris,
Belanda, dan Portugis.
Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik
antara Inggris dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antara kedua
kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua,
berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu
bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.
Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang
Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stanford Raffles, ketika dia menjadi Letnan
Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan
kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalam Kepulauan
Riau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam
konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah
perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan
untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia
Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat
London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian:
Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan
Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris.
Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi
bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula,
perpisahan bahasa Melayu Riau dan Bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan Bahasa ibu penduduk Kerajaan
Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan
sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat
komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakunya Persetujuan London atau Traktat
London, Bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan
dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh
penutur asli Bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja
Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudulBustanul Katibin, sebuah buku
tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tata-bahasa ini selama
berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau
dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja
Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain,
juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap
sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada
permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa
Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan
sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
02.Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris
dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata.
Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi
tidak sepesat perkembangan versi Bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal
ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai
bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, Bahasa Melayu yang sejak dulu
menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma
supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian
ke mana-mana.
Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan bahasa Melayu
Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
Tahun 1865, bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial
Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi Bahasa Belanda. Pranan
ke-lingua franca-an Bahasa Melayu semakin nyata dan penting.
Tahun 1901, Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya yang berjudul
Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang
berisi sistem ejaan Bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat
fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan Huruf Arab (bahasa
diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem
ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan Bahasa
Melayu.
Tahun 1918, Bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam
sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status Bahasa Melayu
meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
Tahun 1920, Bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku
hasil penerbitan Balai Pustaka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa
Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa
mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa
Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Melayu dijadikan oleh para peserta
Kongres Pemoedasebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah
Pemoeda yang diikrarkannya.
Pada tahun 1933, Bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga Baroe
sekelompok pengarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
Pada tahun 1938, Kongres Bahasa Melayu (Indonesia) di Solo.
Kongres ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah Bahasa Indonesia
dan bukan bahasa Melayu lagi.
Tahun 1942 – 1945, Kepulauan Nusantara diduduki oleh balatentara
Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang
pendidikan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia
diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal … ayat …
UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi
negara.” Sejak itu bahasa Indonesia menjadi bahasa Angkatan ‘45.
Tahun 1954, Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini
dihadiri pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
Tahun 1972, antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia tercapai
persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya.
Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
Pada tanggal 16 Agustus 1972, diumumkan pemberlakuan Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini
menjadikan Bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
Pada tanggal 30 Agustus 1975, diumumkan pula pemberlakukan
tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin
memperkuat MABIM sehingga Negara Brunai Darussalam dan Republik Singapura
tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara
teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan
berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai
bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin
kokoh. Keadaan ini akan mengantar Bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas
di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa
dunia di dalam abad ke-21.
Perkembangan bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan
Singapura tidak sepesat dengan perkembangan bahasa Melayu versi Riau di
Kepulauan Nusantara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya
politik bahasa yang dianut oleh Inggris. Pemerintah Kolonial Inggris mengakui
adanya empat bahasa resmi, yaitu Bahasa Melayu, Bahasa Mandarin, Bahasa Tamil,
dan Bahasa Inggris. Keempat bahasa itu dipergunakan sebagai bahasa pengantar
pada lembaga-lembaga pendidikan. Umumnya, Bahasa Inggris paling dominan
dipergunakan sebagai bahasa pengantar.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai
dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa
ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak
dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan
Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai
memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan
mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini Bahasa Melayu, baik
yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, Bahasa Melayu di Malaysia,
bahasa … di Brunei, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan
fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah
berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan
adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa Bahasa Melayu merupakan
salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional
atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure Bahasa Melayu
semakin mantap.
Kedudukan Bahasa Indonesia :
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang
tercantum didalam :
1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “ Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
2. Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan
lambing Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara
ialah Bahasa Indonesia”.
Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai :
1. Bahasa Nasional
Kedudukannya berada diatas bahasa- bahasa daerah. Hasil Perumusan
Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal
25-28 Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai :
· Lambang kebanggaan Nasional.
Sebagai lambang kebanggaan Nasional bahasa Indonesia memancarkan
nilai- nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang
dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan
mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia,
harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita
harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
· Lambang Identitas Nasional.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan
lambang bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia akan dapat mengetahui
identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai bangsa
Indonesia. Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak
tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan
gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
· Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang sosial budaya dan bahasanya.
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu
dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia,
bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa
bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena
dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas
suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah
masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak
bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya
khazanah bahasa Indonesia.
· Alat penghubung antarbudaya antardaerah.
Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk
segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang
berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan
kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia
meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila
pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
2. Bahasa Negara (Bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan
bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi
sebagai :
· Bahasa resmi kenegaraan.
Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI
1945. Mulai saat itu bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa
serta kegiatan kenegaraan.
· Bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan.
Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi. Untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran ynag
berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat
dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing. Apabila hal ini
dilakukan, sangat membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek).
· Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa.
Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
· Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Kebudayaan nasional yang beragam yang berasal dari masyarakat
Indonesia yang beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern
agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik
melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun
media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini
mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang
dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.
--------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka :